I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sulawesi
Tenggara merupakan daerah yang masuk dalam 12 ekoregion Kawasan konservasi
berdasarkan diversitas ekosistem Terumbu
karang, Lamun, dan Mangrove sebagai wilayah yang masuk dalam wilayah segitiga
karang dunia (Coral Triangle),
Sulawesi Tenggara memiliki keanekaragaman hayatiyang cukup tinggi di dunia (megabiodiversity).
Tingginya keaneka-ragaman hayati tersebut bukan hanya disebabkan oleh letak geografis
yang sangat strategis melainkan juga dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti
variasi iklim musiman, arus atau massa air laut yang mempengaruhi massa air
dari dua samudera, serta keragaman tipe habitat dan ekosistem yang terdapat di
dalamnya.
Namun, Seiring meningkatnya
jumlah penduduk serta faktor-faktor ekonomi lain, menyebabkan tekanan terhadap
sumberdaya alam laut dan ekosistemnya semakin meningkat pula. Hal tersebut
semakin dipicu oleh kegiatan yang tidak mengacu pada kriteria-kriteria pembangunan
yang memperhatikan lingkungan serta pemanfaatan sumberdaya alam laut yang
berlebihan. Oleh karena itu diperlukan upaya untuk menanggulangi hal tersebut.
Salah
satu upaya yang dapat menanggulangi hal tersebut adalah perlindungan sumberdaya
alam yang dapat dilakukan melalui konservasi dengan cara menetapkan
lokasi-lokasi yang memiliki potensi keanekaragaman jenis biota laut, gejala
alam dan keunikan, serta ekosistemnya menjadi Kawasan Konservasi Laut (KKL)
atau disebut juga Marine Protect Area (MCA).
KKL merupakan suatu
wilayah pesisir atau pulau-pulau kecil yang memiliki ciri khas tertentu sebagai suatu kesatuan ekosistem yang
dilindungi, dilestarikan dan dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan. KKL
dibagi menurut zonasi yang bertujuan untuk mewujudkan pengelolaan sumberdaya
yang secara berkelanjutan.
Bungkutoko adalah
sebuah pulau kecil yang terletak tepat di depan Kota Kendari dimana antara kota
Kendari dan Pulau ini hanya dihubungkan dengan sebuah jembatan yang biasa
disebut masyarakat setempat dengan jembatan kuning. Di pulau bungkutoko ini
wisatawan dapat menyaksikan kehidupan masyarakat yang masih tetap terjaga
keasliannya, keramah-tamahan masyarakat dengan tatanan kehidupan timur yang
khas. Bungkutoko memiliki keindahan alam yang khas ditambah lagi sekarang di
pulau ini telah dibangun tracking mangrove yang menjdi daya tarik sendiri bagi
wisatawan. Keunikan lain pulau ini adalah sangat dekat dengan daratan atau
dipisahkan oleh selat tersempit di dunia ± 100 m dari daratan serta pulau
Bungkutoko mempunyai 3 sumber air tawar dilepas pantai dan dapat dimanfaatkan
jika air surut.
Berdasarkan uraian diatas maka dianggap perlu untuk melakukan
praktikum mata Kawasan Konservasi Laut
(KKL) di Pulau Bungkutoko.
B. Tujuan dan Manfaat
Tujuan
dari kegiatan praktek lapang ini adalah untuk mengetahui kondisi ekosistem dan
lingkungan di Pulau Bungkutoko serta bagaimana upaya pemanfaatan dan pengelolaan
ekosistem di Pulau Bungkutoko tersebut.
Manfaat dari kegiatan
praktek larsebutpang tersebut adalah, mahasiswa dapat mengetahui serta
mengamati langsung kondisi sumberdaya ekosistem dan lingkungan daerah di
Bungkutoko.
II.
TINJAUAN
PUSTAKA
A. Kawasan Konservasi Laut
Kawasan Konservasi Perairan dalam hal
ini mencakup lautan didefinisikan sebagai kawasan perairan yang dilindungi,
dikelola dengan sistem zonasi, untuk mewujudkan pengelolaan sumber daya ikan
dan lingkungannya secara berkelanjutan. Secara umum Kawasan Konservasi Perairan
didefinisikan sebagai kawasan yang diperuntukkan dan dikelola baik secara
formal maupun tidak formal agar dalam jangka panjang untuk dapat melindungi
sumberdaya alam berikut jasa-jasa ekosistem dan nilai-nilai budayanya
(IUCN-WCPA, 2008).
Sedangkan menurut Rijksen (2002), konservasi
merupakan suatu bentuk evolusi kultural dimana pada saat dulu, upaya konservasi
lebih buruk daripada saat sekarang. Konservasi juga dapat dipandang dari segi
ekonomi dan ekologi dimana konservasi dari segi ekonomi berarti mencoba
mengalokasikan sumberdaya alam untuk sekarang, sedangkan dari segi ekologi,
konservasi merupakan alokasi sumberdaya alam untuk sekarang dan masa yang akan
datang.
Kriteria penentuan suatu kawasan menjaddi
kawasan konservasi berdasarkan biogeografi, ekologi, ekonomi, sosial,
kealamiahan, keilmiahan, kepentingan internasional maupun nasional serta
kepraktisan (Kelleher, 1990). Sedangkan menurut Permen No. 2/2009 tentang tata
cara penetapan KKP berdasarkan tiga kriteria utama yakni ekologi, sosial
budaya, dan ekonomi.
B. Arah Pengembangan Daerah Konservasi
Daerah-daerah prioritas
pengembangan KKP ini dibagi di dalam 12 ekoregion berdasarkan indikataor
terumbu karang, lamun, mangrove dan spesies endemik(Huffard dkk., 2010).
Tahun 2003 total luas
KKP di Indonesia 5,42 juta ha dan pada Tahun 2011 luas wilayah KKP meningkat
menjadi 9,26 juta ha atau sekitar 66%.
Indonesia melakukan perlindungan 22,7% terumbu karang atau sekitar 747.190 ha,
22,0% hutan mangrove atau 758.472 ha sedangkan perlinungan padang lamun
sebanyak 304.866 ha (Direktorat KKJI, 2012).
Menteri Kelautan dan
Perikanan saat itu, Prof. Dr. Rokhmin Dahuri di hadapan para pejabat dari
beberapa negara. Dengan bangga mengemukakan hal yang dipertegas oleh Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono di depan sidang Pertemuan Para Pihak CBD pada Maret 2006
di Brasil yang menyatakan bahwa Indonesia mempunyai target untuk mengembangkan
KKP seluah 10 juta ha pada tahun 2010 dan menjadi dua kali lipat pada tahun
2020.
C. Zonasi Kawasan Konservasi Laut
Berdasarkan Permen KP
No. 17/Men/2008 Pengelolaan konservasi kawasan didasarkan atas sistem zonasi,
yang mencakup zona inti, zona perlindungan, serta zona pemanfaatan wisata. Adapun
penjelasan tentang zonasi tersebut adalah sebagai berikut:
1.
Zona inti adalah bagian
kawasan yang mutlak dilindungi dan tidak diperbolehkan adanya perubahan apapun
oleh aktivitas manusia, dan digunakan untuk pelestarian sumber genetik dan
perlindungan proses ekologi.
2.
Zona Perikanan
Berkelanjutan yang diperuntukkan perlindungan bagian kawasan taman nasional yang berfungsi sebagai penyangga
zona inti taman nasional. Di dalam zona ini dapat dilakukan pemanfaatan secara
tidak langsung terhadap keberadaan daya tarik objek wisata alam yang dapat
dikunjungi secara terbatas, kegiatan pendidikan, penelitian dan pengembangan
ilmu pengetahuan, serta sebagai salah satu unsur penunjang budi daya melalui
penelitian
3.
Zona Pemanfaatan adalah
bagian kawasan taman nasional yang dijadikan sebagai pusat rekreasi dan
kunjungan wisata
4.
Zona Lainnya adalah
bagian kawasan taman nasional yang dijadikan sebagai pusat pemerintahan dan
perumahan penduduk lokal. Di dalam zona ini dapat dilakukan kegiatan
pemanfaatan sumber daya kelautan alami secara tradisional.
D.
Potensi
Kawasan Konservasi Laut
Indonesia
merupakan bagian dari segi tiga terumbu karang (coral traingle), wilayah
pesisir Indonesia memiliki keanekaragaman hayati tertinggi di dunia (megadiversity
country). Sebagai bagian dari kawasan Coral
Triangle, daerah keanekaragaman hayati laut yang luar biasa ini dianggap
sebagai bentangan terumbu karang terbesar kedua di dunia setelah Great
Barrier Reef di Australia. Ekosistem terumbu karang tersebut memberikan
multi manfaat, termasuk diantaranya untuk perlindungan pantai dari gelombang
badai, sumber makanan dan habitat biota, bahan genetik untuk obat, hamparan
pantai karang dan pasir, serta surga bawah air untuk menyelam bagi jutaan
wisatawan (Stanis, 2005).
Laut
Indonesia memiliki luas lebih kurang 5,8 juta km² dengan garis pantai sepanjang
81.000 km, dengan potensi sumberdaya ikan diperkirakan sebesar 6,4 juta ton per
tahun yang tersebar di perairan wilayah Indonesia dan perairan ZEEI (Zona
Ekonomi Eksklusif Indonesia), yang terbagi dalam sembilan wilayah perairan
utama Indonesia. Di samping itu terdapat potensi pengembangan untuk (a) budidaya
laut terdiri dari budidaya ikan (antara lain kakap, kerapu, dan gobia),
budidaya molusca (kerang-kerangan,
mutiara, dan teripang), dan budidaya rumput laut, dan (e) bioteknologi kelautan
untuk pengembangan industri bioteknologi kelautan seperti industri bahan baku
untuk makanan, industri bahan pakan alami, benih ikan dan udang, industri bahan
pangan (Bengen, 2011).
Indonesia
memiliki potensi pariwisata bahari yang memiliki daya tarik bagi wisatawan.
Selain itu juga potensi tersebut didukung oleh kekayaan alam yang indah dan
keanekaragaman flora dan fauna. Misalnya, kawasan terumbu karang di seluruh
Indonesia yang luasnya mencapai 7.500 km² dan umumnya terdapat di wilayah taman
laut. Selain itu juga didukung oleh 263 jenis ikan hias di sekitar terumbu
karang, biota langka dan dilindungi (ikan banggai cardinal fish, penyu, dugong,
dll), serta migratory species.
Potensi kekayaan maritim yang dapat dikembangkan menjadi komoditi pariwisata di
laut Indonesia antara lain: wisata bisnis (business
tourism), wisata pantai (seaside tourism), wisata budaya (culture tourism), wisata pesiar (cruise tourism), wisata alam (eco tourism) dan wisata olah raga (sport tourism) (Osher, 2006).
E.
Pengelolaan Kawasan Konservasi Laut
Fakta
menunjukkan bahwa kawasan perlindungan laut telah dikenali secara luas sebagai
alat penting untuk konservasi, namun hanya 0,5% dari lingkungan laut dunia
benar-benar diperuntukkan sebagai kawasan yang dilindungi,bila dibandingkan
dengan hampir 13% lingkungan darat sebagai kawasan perlindungan. Di perkirakan
±75% dari kawasan perlindungan laut mengalami pengelolaan yang terbatas atau tidak
ada pengelolaan sama sekali (WWF, 2000).
Dalam kurun
waktu yang panjang, banyak kawasan perlindungan telah dibentuk terutama untuk
mengurangi hilangnya keanekaragaman dan variasi genetiknya, khususnya fokus pada
ekosistem yang rentan dan spesies yang mempunyai nilai ekonomi penting. Pada
saat ini, proses merosotnya mutu dan fungsi sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya, khususnya sumberdaya hutan (termasuk yang berada di dalam Kawasan
Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam) berjalan sangat cepat dalam tingkat
yang memprihatinkan, dan telah meningkatkan intensitas konflik pengguna sumberdaya
alam serta berdampak 8 negatif khususnya untuk fungsi kawasan taman nasional
sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman
jenis tumbuhan dan satwa serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam dan
ekosistemnya (Departemen Kehutanan, 2001).
F.
Ekosistem Kawasan Konsrvasi Laut
a). Mangrove
Hutan
mangrove merupakan salah satu bentuk ekosistem hutan yang unik dan khas,
terdapat di daerah pasang surut di wilayah pesisir, pantai, dan atau
pulau-pulau kecil, dan merupakan potensi sumberdaya alam yang sangat potensial.
Hutan mangrove memiliki nilai ekonomis dan ekologis yang tinggi, tetapi sangat
rentan terhadap kerusakan apabila kurang bijaksana dalam mempertahankan,
melestarian dan pengelolaannya. Hutan mangrove sangat menunjang perekonomian
masyarakat pantai, karena merupakan sumber mata pencaharian masyarakat yang
berprofesi sebagai nelayan. Secara ekologis hutan mangrove di samping sebagai
habitat biota laut, juga merupakan tempat pemijahan bagi ikan yang hidup di
laut bebas. Keragaman jenis mangrove dan keunikannya juga memiliki potensi sebagai
wahana hutan wisata dan atau penyangga perlindungan wilayah pesisir dan pantai,
dari berbagai ancaman sedimentasi, abrasi, pencegahan intrusi air laut, serta
sebagai sumber pakan habitat biota laut (Saparinto, 2007).
Hutan bakau
mempunyai fungsi ganda dan merupakan mata rantai yang sangat penting dalam
memelihara keseimbangan siklus biologi di suatu perairan. Fungsi fisik hutan
bakau yaitu menjaga keseimbangan ekosistem perairan pantai, melindungi pantai
dan tebing sungai terhadap pengikisan atau erosi pantai, menahan dan
mengendapkan lumpur serta menyaring bahan tercemar.
Fungsi lainnya
adalah sebagai penghasil bahan organik yang merupakan sumber makanan biota,
tempat berlindung dan memijah berbagai jenis udang, ikan, dan berbagai biota
lainnya (Bengen, 2000).
b). Lamun
Lamun (seagrass) merupakan satu-satunya
tumbuhan berbunga yang hidup terendam di dalam laut. Umumnya membentuk padang
lamun yang luas di dasar laut yang masih dapat dijangkau oleh cahaya matahari
yang memadai bagi pertumbuhannya. Hidup di perairan yang dangkal dan jernih,
dengan sirkulasi air yang baik. Hampir semua tipe substrat dapat ditumbuhi
lamun, mulai dari substrat berlumpur
sampai berbatu. Lamun
merupakan ekosistem yang
tinggi produktivitas organiknya, dimana hidup beraneka ragam biota laut
seperti ikan, crustasea, moluska, dan
cacing (Bengen 2011).
Lamun
merupakan tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang memiliki kemampuan
beradaptasi secara penuh di perairan yang memiliki fluktuasi salinitas tinggi,
hidup terbenam di dalam air dan memiliki rhizoma, daun, dan akar sejati. Hamparan vegetasi
lamun yang menutupi
suatu area pesisir
disebut sebagai padang lamun (seagrass bed). Berbagai jenis ikan
menjadikan daerah padang lamun
sebagai daerah mencari
makan (feeding ground),
pengasuhan larva (nursery ground),
tepat memijah (spawning
ground), sebagai stabilitas
dan penahanan sedimen, mengurangi
dan memperlambat pergerakan gelombang, sebagai tempat
terjadinya siklus nutrien (Philips dan Menez 1988) dan fungsinya sebagai
penyerap karbon di lautan (carbon sink)
atau dikenal dengan istilah blue carbon dan digunakan untuk proses fotosintesis
(Kawaroe 2009). Padang lamun di Indonesia memiliki luas sekitar 30.000 km2 dan berperan penting di ekosistem laut dangkal, karena merupakan habitat bagi ikan
dan biota perairan lainnya
(Nontji 2009).
Ekosistem
padang lamun sangat rentan dan peka terhadap perubahan lingkungan hidup seperti
kegiatan pengerukan dan pengurugan yang berkaitan dengan pembangunan pelabuhan,
real estate, sarana wisata, pembuangan sampah organik cair, sampah padat,
pencemaran oleh limbah industri terutama logam berat, pencemaran limbah
pertanian dan pencemaran minyak serta penggunaan alat tangkap yang tidak ramah
lingkungan seperti potasium sianida dan sabit/gareng. Kondisi ini dapat
menurunkan kemampuan daya dukung (carrying
capacity) ekosistem padang lamun dalam fungsinya sebagai tempat produksi
ikan (Husni, 2003).
Berbagai
praktek pemanfaatan sumberdaya alam yang hanya memperhatikan keuntungan jangka
pendek, seperti penangkapan ikan dengan bahan peledak dan beracun, penangkapan
yang berlebihan, dan kegiatan pembangunan baik di darat maupun di laut yang
tidak memperhatikan kelestarian ekosistem ini serta terjadinya konflik
penggunaan di dalam pemanfaatannya memperlihatkan masih rendahnya kesadaran
masyarakat mengenai manfaat ekosistem ini. Rendahnya kesadaran masyarakat akan
berakibat rendahnya peran serta dari masyarakat dalam upaya pengelolaannya. Hal
ini tercermin tiadanya swakarsa masyarakat setempat, misalnya untuk menentukan
daerah reservat perikanan yang dilindungi agar menjadi sumber bibit bagi
lingkungan sekitarnya (Zulkifli, 2003).
c). Karang
Terumbu
karang merupakan terjemahan langsung bahasa Inggris dari kata coral reefs. Reef atau terumbu adalah serangkaian struktur keras dan padat yang
berada di dalam atau dekat permukaan air. Sedangkan coral atau karang, merupakan salah satu organisme laut yang tidak
bertulang belakang (invertebrate),
berbentuk polip yang berukuran mikroskopis, namun mampu menyerap kapur dari air
laut dan mengendapkannya sehingga membentuk timbunan kapur yang padat (Bengen, 2002).
Kekayaan
nilai dalam ekosistem terumbu karang menyumbang manfaat yang sangat besar dan
beragam dalam pembangunan kelautan. Sejalan dengan pertumbuhan penduduk dan
pembangunan suatu daerah maka eksploitasi sumberdaya alam termasuk sumberdaya terumbu
karang dan ekosistemnya yang dilakukan secara besar-besaran tanpa
mempertimbangkan kelestariannya akan berdampak pada menurunnya kualitas
lingkungan hidup masyarakat di sekitar terumbu karang berada, termasuk
sumberdaya terumbu karang itu sendiri dan eksosistemnya (Bengen, 2002)
Eksploitasi
sumberdaya alam di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil secara besar-besaran tanpa
mempertimbangkan kelestariannya, berdampak pada menurunnya kualitas lingkungan
hidup di wilayah tersebut, termasuk terumbu karang. kondisi terumbu karang
Indonesia 41,78% dalam keadaan rusak, 28,30 % dalam keadaan sedang, 23,72 %
dalam keadaan baik, dan 226,20 % dalam keadaan sangat baik. Hal ini menunjukkan
telah terjadi tekanan yang cukup besar terhadap keberadaan terumbu karang di
indonesia pada umumnya oleh beberbagai ancaman dan faktor-faktor penyebab
kerusakan ( LIPI, 2000).
III.
METODE PRAKTEK
A.
Waktu
dan Tempat
Praktek
lapang Konsevasi Kawasan Laut ini dilaksanakan pada hari Minggu, 10 Januari
2016 pukul 10.00 WITA–selesai dan bertempat di pulau Bungkutoko, Kecamatan
Abeli Kota Kendari.
B.
Alat yang digunakan
Berikut adalah Alat dan Bahan yang
digunakan pada Praktek Lapang Konservasi Kawasan Laut:
Tabel 1. Alat dan Bahan Beserta Kegunaannya
No.
|
Alat dan Bahan
|
Kegunaan
|
a.
|
Alat
|
|
-
Transek 1×1 m
|
Sebagai
pembatas pengambilan sampel
|
|
-
Meteran rol
|
Untuk mengukur
luas dan jarak pengambilan sampel
|
|
-
Alat snorkling
|
Sebagai alat
bantu dalam pengamatan karang
|
|
-
Kamera
|
Sebagai media
komunikasi
|
|
-
Alat Tulis
|
Untuk mencatat
|
|
b.
|
Bahan
|
|
-
Mangrove
|
Sebagai media
praktek
|
|
-
Lamun
|
Sebagai media
praktek
|
|
-
Karang
|
Sebagai media praktek
|
C.
Prosedur
Kerja
Berikut adalah
prosedur kerja dalam melakukan Praktek Lapang Konsevasi Kawasan Laut di
Bungkutoko:
-
Menyimpan alat dan bahan yang akan
digunakan pada kegiatan
-
Mengukur lokasi 10×10 m pada ekosistem
mangrove, menghitung jumlah pohon, anakan, semai dan sekaligus mengamati
organisme yang ada pada daerah ekosistem tersebut, pengambilan sample dilakukan
3× pengulangan.
-
Meletakan transek kuadrat pada daerah
ekosistem lamun, kemudian mengamati organisme yang ada pada setiap plotnya dan
pengambilan dilakukan 3× pengulangan.
-
Mengamati keadaan ekosistem karang di
daerah tersebut
-
Melakukan wawancara pada Warga setempat.
IV.
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran
Umum Lokasi
Adapun gambaran
umum tentang lokasi tempat praktek lapang, dapat dilihat dari gambar di bawah
ini :
Gambar
1.Peta Bungkutuoko
Gambar
1.Peta Bungkutuoko
Secara
umum perairan pantai Bungkutoko Timur, berada dalam wilayah di Kecamatan Abeli
Kota Kendari Sulawesi Tenggara yang terletak pada posisi astronomis 3º, 58’, 30º LS
- 3º, 59, 30º LS dan 122º, 35º,
15º BT. Dengan luas wilayah luas wilayah ± 500 Ha. Adapun kondisi
geografis perairan pantai pulau Bungkutoko Timur Sebagai Berikut:
Sebelah Selatan berbatasan dengan Nambo
Sebelah Barat berbatasan dengan
Teluk Kendari
Sebelah Utara berbatasan dengan
Kelurahan Kasilampe
Sebelah Timur berbatasan dengan Laut
Banda
Topografi perairan pantai Bungkutoko Timur merupakan
perairan pantai landai dan Zona Intertidal pada surut terendah berjarak ± 350 m
dari garis pantai dan mempunyai dasar perairan berpasir, lumpur berpasir dan
pasir berbatu-batu.
B. Hasil
Adapun hasil pengamatan praktek lapang
konservasi kawasan laut dapat dilihat pada tabel di bawah.
Tabel
2. Hasil pengamatan Lamun
Stasiun
|
Plot
|
Jenis Lamun
|
Tegakan
|
Organisme
|
1
|
Thalasia
|
3
|
-
|
|
1
|
2
|
Cymodocea
|
2
|
-
|
5 meter
|
3
|
Thalassia
|
8
|
2 Kepiting
|
4
|
Thalassia
|
18
|
-
|
|
5
|
Cymodocea
|
11
|
-
|
|
1
|
Cymodocea
|
6
|
-
|
|
2
|
2
|
Cymodocea
|
-
|
1 Kepiting
|
10 meter
|
3
|
Cymodocea
|
2
|
-
|
4
|
Thalassia
|
10
|
-
|
|
5
|
Cymodocea
|
3
|
-
|
|
1
|
Cymodocea
|
15
|
-
|
|
3
|
2
|
Cymodocea
|
10
|
-
|
15 meter
|
3
|
Thalassia
|
6
|
-
|
4
|
Cymodocea
|
7
|
Kepiting
|
|
5
|
Cymodocea
|
10
|
-
|
Tabel
3. Hasil pengamatan Mangrove
Stasiun
|
Mangrove
|
Jumlah
|
Organisme
|
1
|
Soneratia
|
10 pohon
2 semai
|
Burungo
Crustacea
|
Rhizophora
|
1 semai
|
||
2
|
Soneratia
|
10 pohon
|
Burungo
|
3
|
Soneratia
Rhizophora
|
3 pohon
1 anakan
|
Kalandue
|
4
|
Soneratia
Rhizophora
|
10 pohon
2 semai
|
Burungo
|
5
|
Soneratia
|
10 pohon
5 anakan
3 semai
|
Crustacea
Kalandue
|
Rhizophora
|
2 semai
|
C. Peta Partisipatif
Gambar 2. Peta Partisipatif
C. Pembahasan
Konservasi adalah upaya pelestarian lingkungan,
tetapi tetap memperhatikan, manfaat yang dapat di peroleh pada saat itu dengan
tetap mempertahankan keberadaan setiap komponen lingkungan untuk pemanfaatan,
masa depan.
Mewujudkan visi Kota Kendari tahun 2020 sebagai kota
dalam taman yang maju, demokratis dan sejahtera serta untuk menunjang
pembangunan Kota Kendari yang cukup pesat, Pemeritah Kota (Pemkot)
Kendari terus berupaya menyediakan berbagai fasilitas umum bagi masyarakat
ibukota provinsi Sulawesi Tenggara.
Salah satu fasilitas wisata (daerah
Konservasi) yang diberi nama traking mangrove, Traking mangrove atau taman air merupakan salah satu konsep yang
saat ini tengah dikembangkan oleh Pemerintah Kota Kendari, pekerjaan tracking mangrove Bungkutoko
tersebut dimulai sejak 2015 dengan dana sekitar Rp1,5 miliar yang bersumber
dari Kementerian Kelautan dan Perikanan kemudian dikelola oleh masyarakat Pulau
Bungkutoko.
Selain sebagai lokasi wisata,
kawasan tersebut juga bisa berfungsi sebagai ruang terbuka hijau dan sarana
pendidikan. Lokasi ekowisata alam Tracking Mangrove berdekatan dengan Pelabuhan
Kontainer Bungkutoko dijelaskan, tracking mangrove Bungkutoko itu memiliki
panjang sekitar 500 meter dengan track yang memutar lengkap dengan pintu masuk,
serta beberapa fasilitas penunjang diantaranya sejumlah gazebo, toilet, pos
jaga dan menara pantau.
Ekologi merupakan ilmu yang
mempelajari organisme dalam tempat hidupnya atau dengan kata lain mempelajari
hubungan timbal-balik antara organisme dengan lingkungannya. Ekologi hanya
bersifat eksploratif dengan tidak melakukan percobaan, jadi hanya mempelajari
apa yang ada dan apa yang terjadi di alam.
Hutan mangrove merupakan ekosistem yang kompleks terdiri atas flora dan fauna daerah pantai, hidup sekaligus di habitat daratan dan air laut, antara batas air pasang
dan surut berperan dalam melindungi garis pantai dari
erosi, gelombang laut
dan angin topan,
Biota
yang ditemui di ekosistem mangrove pada Praktek Lapang Konservasi tersebut
adalah rata-rata crustacea, sedangkan
jenis mangrove yang didapatkan adalah jenis Avicenia
dan Rhizopora. Dari hasil pengambilan sample pada setiap stasiun pengamatan
yang diperoleh pada tabel 2 diatas menunjukkan bahwa kondisi Ekosistem Mangrove
tersebut memiliki kerapatan atau kepadatan yang relatif rendah.
Lamun atau biasa disebut
dengan seagrass adalah tumbuhan berbunga
yang dapat tumbuh
dengan baik dalam lingkungan laut dangkal, semua lamun adalah tumbuhan
berbiji satu yang mempunyai akar,
rimpang atau rizom, daun, bunga dan
buah seperti halnya dengan tumbuhan berpembuluh yang tumbuh
di darat. Fungsi utama ekosistem lamun dapat memberikan nutrisi terhadap biota yang
berada diperairan sekitarnya. Organisme yang telah didapatkan pada
pengamatan Ekosistem Lamun tersebut adalah Bintang laut, Sponge dan berbagai jenis siput yang hidup didaerah tersebut,
sedangkan jenis lamun yang didapatkan adalah Thallasia
Hemprichii dan Cymodocea
Rotundata.
Zonasi-zonasi yang
terdapat di pulau Bungutoko ini adalah zona pemanfaatan dan zonasi
perikanan berkelanjutan. Zona pemanfaatan di daerah ini adalah daerah wisata tracking mangrove dimana tracking mangrove ini merupakan daerah
wisata yang sangat jarang dan hanya ada 3 di Indonesia dan Bungkutoko adalah
salah satu daerah yang memiliki
wilayah tracking mangrove sehingga
daerah ini memiliki daya tarik tersendiri bagi para wisatawan baik wisatawan
lokal maupun wisatawan dari luar daerah.
Zonasi selanjutnya adalah
zonasi perikanan berkelanjutan, zona ini dimanfaatkan salah satu masyarakat bungkutoko untuk membuka lahan
budidaya dimana hal tersebut menjadi salah satu sumber mata pencaharian
masyarakat tersebut.
V. SIMPULAN DAN SARAN
A.
Simpulan
Berdasarkan
hasil pengamatan dan pembahasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa pulau
Bungkutoko memiliki ekosistem lamun dan terumbu karang yang relatif rendah
sedangkan ekosistem mangrovenya cukup baik dibuktikan dengan adanya daerah
wisata tracking mangrove icon dari
pulau Bungkutoko.
B.
Saran
Adapun
saran saya pada praktikum selanjutnya sebaiknya tempat praktikum yang dipilih
adalah tempat yang memiliki potensi ekosistem yang lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
Bengen, Dietriech G, 2000. Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam
Pesisir.
Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan
Lautan – IPB, Bogor.
Bengen,
Dietriech G. 2001. Pedoman Teknis Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Pusat Kajian Sumberdaya
Pesisir dan Lautan – IPB, Bogor.
Bengen,
Dietriech G, 2004. Pedoman Teknis Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove, Pusat kajian Sumberdaya
Pesisir dan Lautan IPB,Bogor.
Dahuri,
R,Rais J, dan Ginting SP, 2001, Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Lautann Secara Terpadu, PT Paradya Paramitha.
Jakarta.
Departemen Kehutan Undang-Undang Nomor 27 Tahun
2007, Tentang Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.nan, Direktorat Jenderal
Rehabilitas Lahan dan Perhutanan
Sosial,
Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Pemali-Jratun Propinsi Jawa, Laporan Akhir Inventarisasi dan Identifikasi
Mangrove Wilayah Balai Pengelolaan
DAS Pemali Jratun, Provinsi Jawa Tengah Tahun Anggaran 2006.
Saparinto, Cahyo. 2007. Pendayagunaan Ekosistem Mangrove. Dahara
Prize,
Semarang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar