Rabu, 27 Januari 2016

LAPORAN LENGKAP KAWASAN KONSERVASI LAUT



                                                                                                            I.          PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Sulawesi Tenggara merupakan daerah yang masuk dalam 12 ekoregion Kawasan konservasi berdasarkan diversitas  ekosistem Terumbu karang, Lamun, dan Mangrove sebagai wilayah yang masuk dalam wilayah segitiga karang dunia (Coral Triangle), Sulawesi Tenggara memiliki keanekaragaman hayatiyang cukup tinggi di dunia (megabiodiversity). Tingginya keaneka-ragaman hayati tersebut bukan hanya disebabkan oleh letak geografis yang sangat strategis melainkan juga dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti variasi iklim musiman, arus atau massa air laut yang mempengaruhi massa air dari dua samudera, serta keragaman tipe habitat dan ekosistem yang terdapat di dalamnya.
Namun, Seiring meningkatnya jumlah penduduk serta faktor-faktor ekonomi lain, menyebabkan tekanan terhadap sumberdaya alam laut dan ekosistemnya semakin meningkat pula. Hal tersebut semakin dipicu oleh kegiatan yang tidak mengacu pada kriteria-kriteria pembangunan yang memperhatikan lingkungan serta pemanfaatan sumberdaya alam laut yang berlebihan. Oleh karena itu diperlukan upaya untuk menanggulangi hal tersebut.
            Salah satu upaya yang dapat menanggulangi hal tersebut adalah perlindungan sumberdaya alam yang dapat dilakukan melalui konservasi dengan cara menetapkan lokasi-lokasi yang memiliki potensi keanekaragaman jenis biota laut, gejala alam dan keunikan, serta ekosistemnya menjadi Kawasan Konservasi Laut (KKL) atau disebut juga Marine Protect Area (MCA).
KKL merupakan suatu wilayah pesisir atau pulau-pulau kecil yang memiliki ciri khas tertentu  sebagai suatu kesatuan ekosistem yang dilindungi, dilestarikan dan dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan. KKL dibagi menurut zonasi yang bertujuan untuk mewujudkan pengelolaan sumberdaya yang secara berkelanjutan.
Bungkutoko adalah sebuah pulau kecil yang terletak tepat di depan Kota Kendari dimana antara kota Kendari dan Pulau ini hanya dihubungkan dengan sebuah jembatan yang biasa disebut masyarakat setempat dengan jembatan kuning. Di pulau bungkutoko ini wisatawan dapat menyaksikan kehidupan masyarakat yang masih tetap terjaga keasliannya, keramah-tamahan masyarakat dengan tatanan kehidupan timur yang khas. Bungkutoko memiliki keindahan alam yang khas ditambah lagi sekarang di pulau ini telah dibangun tracking mangrove yang menjdi daya tarik sendiri bagi wisatawan. Keunikan lain pulau ini adalah sangat dekat dengan daratan atau dipisahkan oleh selat tersempit di dunia ± 100 m dari daratan serta pulau Bungkutoko mempunyai 3 sumber air tawar dilepas pantai dan dapat dimanfaatkan jika air surut.
   Berdasarkan uraian diatas maka dianggap perlu untuk melakukan praktikum  mata Kawasan Konservasi Laut (KKL) di Pulau Bungkutoko.









B.  Tujuan dan Manfaat
Tujuan dari kegiatan praktek lapang ini adalah untuk mengetahui kondisi ekosistem dan lingkungan di Pulau Bungkutoko serta bagaimana upaya pemanfaatan dan pengelolaan ekosistem di Pulau Bungkutoko tersebut.
Manfaat dari kegiatan praktek larsebutpang tersebut adalah, mahasiswa dapat mengetahui serta mengamati langsung kondisi sumberdaya ekosistem dan lingkungan daerah di Bungkutoko.

















                   II.          TINJAUAN PUSTAKA
A.  Kawasan Konservasi Laut
Kawasan Konservasi Perairan dalam hal ini mencakup lautan didefinisikan sebagai kawasan perairan yang dilindungi, dikelola dengan sistem zonasi, untuk mewujudkan pengelolaan sumber daya ikan dan lingkungannya secara berkelanjutan. Secara umum Kawasan Konservasi Perairan didefinisikan sebagai kawasan yang diperuntukkan dan dikelola baik secara formal maupun tidak formal agar dalam jangka panjang untuk dapat melindungi sumberdaya alam berikut jasa-jasa ekosistem dan nilai-nilai budayanya (IUCN-WCPA, 2008).
Sedangkan menurut Rijksen (2002), konservasi merupakan suatu bentuk evolusi kultural dimana pada saat dulu, upaya konservasi lebih buruk daripada saat sekarang. Konservasi juga dapat dipandang dari segi ekonomi dan ekologi dimana konservasi dari segi ekonomi berarti mencoba mengalokasikan sumberdaya alam untuk sekarang, sedangkan dari segi ekologi, konservasi merupakan alokasi sumberdaya alam untuk sekarang dan masa yang akan datang.
Kriteria penentuan suatu kawasan menjaddi kawasan konservasi berdasarkan biogeografi, ekologi, ekonomi, sosial, kealamiahan, keilmiahan, kepentingan internasional maupun nasional serta kepraktisan (Kelleher, 1990). Sedangkan menurut Permen No. 2/2009 tentang tata cara penetapan KKP berdasarkan tiga kriteria utama yakni ekologi, sosial budaya, dan ekonomi.




B.  Arah Pengembangan Daerah Konservasi
Daerah-daerah prioritas pengembangan KKP ini dibagi di dalam 12 ekoregion berdasarkan indikataor terumbu karang, lamun, mangrove dan spesies endemik(Huffard dkk., 2010).
Tahun 2003 total luas KKP di Indonesia 5,42 juta ha dan pada Tahun 2011 luas wilayah KKP meningkat menjadi 9,26  juta ha atau sekitar 66%. Indonesia melakukan perlindungan 22,7% terumbu karang atau sekitar 747.190 ha, 22,0% hutan mangrove atau 758.472 ha sedangkan perlinungan padang lamun sebanyak 304.866 ha (Direktorat KKJI, 2012).
Menteri Kelautan dan Perikanan saat itu, Prof. Dr. Rokhmin Dahuri di hadapan para pejabat dari beberapa negara. Dengan bangga mengemukakan hal yang dipertegas oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di depan sidang Pertemuan Para Pihak CBD pada Maret 2006 di Brasil yang menyatakan bahwa Indonesia mempunyai target untuk mengembangkan KKP seluah 10 juta ha pada tahun 2010 dan menjadi dua kali lipat pada tahun 2020.
C.  Zonasi Kawasan Konservasi Laut
Berdasarkan Permen KP No. 17/Men/2008 Pengelolaan konservasi kawasan didasarkan atas sistem zonasi, yang mencakup zona inti, zona perlindungan, serta zona pemanfaatan wisata. Adapun penjelasan tentang zonasi tersebut adalah sebagai berikut:
1.    Zona inti adalah bagian kawasan yang mutlak dilindungi dan tidak diperbolehkan adanya perubahan apapun oleh aktivitas manusia, dan digunakan untuk pelestarian sumber genetik dan perlindungan proses ekologi.
2.    Zona Perikanan Berkelanjutan yang diperuntukkan perlindungan bagian kawasan taman  nasional yang berfungsi sebagai penyangga zona inti taman nasional. Di dalam zona ini dapat dilakukan pemanfaatan secara tidak langsung terhadap keberadaan daya tarik objek wisata alam yang dapat dikunjungi secara terbatas, kegiatan pendidikan, penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan, serta sebagai salah satu unsur penunjang budi daya melalui penelitian
3.    Zona Pemanfaatan adalah bagian kawasan taman nasional yang dijadikan sebagai pusat rekreasi dan kunjungan wisata
4.    Zona Lainnya adalah bagian kawasan taman nasional yang dijadikan sebagai pusat pemerintahan dan perumahan penduduk lokal. Di dalam zona ini dapat dilakukan kegiatan pemanfaatan sumber daya kelautan alami secara tradisional.
D.  Potensi Kawasan Konservasi Laut
Indonesia merupakan bagian dari segi tiga terumbu karang (coral traingle), wilayah pesisir Indonesia memiliki keanekaragaman hayati tertinggi di dunia (megadiversity country). Sebagai bagian dari kawasan Coral Triangle, daerah keanekaragaman hayati laut yang luar biasa ini dianggap sebagai bentangan terumbu karang terbesar kedua di dunia setelah Great Barrier Reef di Australia. Ekosistem terumbu karang tersebut memberikan multi manfaat, termasuk diantaranya untuk perlindungan pantai dari gelombang badai, sumber makanan dan habitat biota, bahan genetik untuk obat, hamparan pantai karang dan pasir, serta surga bawah air untuk menyelam bagi jutaan wisatawan (Stanis, 2005).
Laut Indonesia memiliki luas lebih kurang 5,8 juta km² dengan garis pantai sepanjang 81.000 km, dengan potensi sumberdaya ikan diperkirakan sebesar 6,4 juta ton per tahun yang tersebar di perairan wilayah Indonesia dan perairan ZEEI (Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia), yang terbagi dalam sembilan wilayah perairan utama Indonesia. Di samping itu terdapat potensi pengembangan untuk (a) budidaya laut terdiri dari budidaya ikan (antara lain kakap, kerapu, dan gobia), budidaya molusca (kerang-kerangan, mutiara, dan teripang), dan budidaya rumput laut, dan (e) bioteknologi kelautan untuk pengembangan industri bioteknologi kelautan seperti industri bahan baku untuk makanan, industri bahan pakan alami, benih ikan dan udang, industri bahan pangan (Bengen, 2011).
Indonesia memiliki potensi pariwisata bahari yang memiliki daya tarik bagi wisatawan. Selain itu juga potensi tersebut didukung oleh kekayaan alam yang indah dan keanekaragaman flora dan fauna. Misalnya, kawasan terumbu karang di seluruh Indonesia yang luasnya mencapai 7.500 km² dan umumnya terdapat di wilayah taman laut. Selain itu juga didukung oleh 263 jenis ikan hias di sekitar terumbu karang, biota langka dan dilindungi (ikan banggai cardinal fish, penyu, dugong, dll), serta migratory species. Potensi kekayaan maritim yang dapat dikembangkan menjadi komoditi pariwisata di laut Indonesia antara lain: wisata bisnis (business tourism), wisata pantai (seaside tourism), wisata budaya (culture tourism), wisata pesiar (cruise tourism), wisata alam (eco tourism) dan wisata olah raga (sport tourism) (Osher, 2006).
E.  Pengelolaan Kawasan Konservasi Laut
Fakta menunjukkan bahwa kawasan perlindungan laut telah dikenali secara luas sebagai alat penting untuk konservasi, namun hanya 0,5% dari lingkungan laut dunia benar-benar diperuntukkan sebagai kawasan yang dilindungi,bila dibandingkan dengan hampir 13% lingkungan darat sebagai kawasan perlindungan. Di perkirakan ±75% dari kawasan perlindungan laut mengalami pengelolaan yang terbatas atau tidak ada pengelolaan sama sekali (WWF, 2000).
Dalam kurun waktu yang panjang, banyak kawasan perlindungan telah dibentuk terutama untuk mengurangi hilangnya keanekaragaman dan variasi genetiknya, khususnya fokus pada ekosistem yang rentan dan spesies yang mempunyai nilai ekonomi penting. Pada saat ini, proses merosotnya mutu dan fungsi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, khususnya sumberdaya hutan (termasuk yang berada di dalam Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam) berjalan sangat cepat dalam tingkat yang memprihatinkan, dan telah meningkatkan intensitas konflik pengguna sumberdaya alam serta berdampak 8 negatif khususnya untuk fungsi kawasan taman nasional sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam dan ekosistemnya (Departemen Kehutanan, 2001).
F.   Ekosistem Kawasan Konsrvasi Laut
a). Mangrove
Hutan mangrove merupakan salah satu bentuk ekosistem hutan yang unik dan khas, terdapat di daerah pasang surut di wilayah pesisir, pantai, dan atau pulau-pulau kecil, dan merupakan potensi sumberdaya alam yang sangat potensial. Hutan mangrove memiliki nilai ekonomis dan ekologis yang tinggi, tetapi sangat rentan terhadap kerusakan apabila kurang bijaksana dalam mempertahankan, melestarian dan pengelolaannya. Hutan mangrove sangat menunjang perekonomian masyarakat pantai, karena merupakan sumber mata pencaharian masyarakat yang berprofesi sebagai nelayan. Secara ekologis hutan mangrove di samping sebagai habitat biota laut, juga merupakan tempat pemijahan bagi ikan yang hidup di laut bebas. Keragaman jenis mangrove dan keunikannya juga memiliki potensi sebagai wahana hutan wisata dan atau penyangga perlindungan wilayah pesisir dan pantai, dari berbagai ancaman sedimentasi, abrasi, pencegahan intrusi air laut, serta sebagai sumber pakan habitat biota laut (Saparinto, 2007).
Hutan bakau mempunyai fungsi ganda dan merupakan mata rantai yang sangat penting dalam memelihara keseimbangan siklus biologi di suatu perairan. Fungsi fisik hutan bakau yaitu menjaga keseimbangan ekosistem perairan pantai, melindungi pantai dan tebing sungai terhadap pengikisan atau erosi pantai, menahan dan mengendapkan lumpur serta menyaring bahan tercemar.
Fungsi lainnya adalah sebagai penghasil bahan organik yang merupakan sumber makanan biota, tempat berlindung dan memijah berbagai jenis udang, ikan, dan berbagai biota lainnya (Bengen, 2000).
b). Lamun
Lamun (seagrass) merupakan satu-satunya tumbuhan berbunga yang hidup terendam di dalam laut. Umumnya membentuk padang lamun yang luas di dasar laut yang masih dapat dijangkau oleh cahaya matahari yang memadai bagi pertumbuhannya. Hidup di perairan yang dangkal dan jernih, dengan sirkulasi air yang baik. Hampir semua tipe substrat dapat ditumbuhi lamun, mulai dari substrat berlumpur   sampai   berbatu.   Lamun   merupakan   ekosistem   yang   tinggi produktivitas organiknya, dimana hidup beraneka ragam biota laut seperti ikan, crustasea, moluska, dan cacing (Bengen 2011).

Lamun merupakan tumbuhan  berbunga (Angiospermae) yang memiliki kemampuan beradaptasi secara penuh di perairan yang memiliki fluktuasi salinitas tinggi, hidup terbenam di dalam air dan memiliki rhizoma, daun, dan akar sejati. Hamparan   vegetasi   lamun  yang  menutupi   suatu  area  pesisir   disebut  sebagai padang lamun (seagrass bed). Berbagai jenis ikan menjadikan daerah padang lamun   sebagai   daerah   mencari   makan   (feeding   ground),   pengasuhan   larva (nursery   ground),   tepat   memijah   (spawning   ground),   sebagai   stabilitas   dan penahanan   sedimen,   mengurangi   dan   memperlambat   pergerakan gelombang, sebagai tempat terjadinya siklus nutrien (Philips dan Menez 1988) dan fungsinya sebagai penyerap karbon di lautan (carbon sink) atau dikenal dengan istilah blue carbon dan digunakan untuk proses fotosintesis (Kawaroe 2009). Padang lamun di Indonesia memiliki luas sekitar 30.000 km2 dan berperan penting di ekosistem laut  dangkal, karena merupakan habitat bagi  ikan  dan biota perairan  lainnya (Nontji 2009).
Ekosistem padang lamun sangat rentan dan peka terhadap perubahan lingkungan hidup seperti kegiatan pengerukan dan pengurugan yang berkaitan dengan pembangunan pelabuhan, real estate, sarana wisata, pembuangan sampah organik cair, sampah padat, pencemaran oleh limbah industri terutama logam berat, pencemaran limbah pertanian dan pencemaran minyak serta penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan seperti potasium sianida dan sabit/gareng. Kondisi ini dapat menurunkan kemampuan daya dukung (carrying capacity) ekosistem padang lamun dalam fungsinya sebagai tempat produksi ikan (Husni, 2003).
Berbagai praktek pemanfaatan sumberdaya alam yang hanya memperhatikan keuntungan jangka pendek, seperti penangkapan ikan dengan bahan peledak dan beracun, penangkapan yang berlebihan, dan kegiatan pembangunan baik di darat maupun di laut yang tidak memperhatikan kelestarian ekosistem ini serta terjadinya konflik penggunaan di dalam pemanfaatannya memperlihatkan masih rendahnya kesadaran masyarakat mengenai manfaat ekosistem ini. Rendahnya kesadaran masyarakat akan berakibat rendahnya peran serta dari masyarakat dalam upaya pengelolaannya. Hal ini tercermin tiadanya swakarsa masyarakat setempat, misalnya untuk menentukan daerah reservat perikanan yang dilindungi agar menjadi sumber bibit bagi lingkungan sekitarnya (Zulkifli, 2003).
c). Karang
Terumbu karang merupakan terjemahan langsung bahasa Inggris dari kata coral reefs. Reef atau terumbu adalah serangkaian struktur keras dan padat yang berada di dalam atau dekat permukaan air. Sedangkan coral atau karang, merupakan salah satu organisme laut yang tidak bertulang belakang (invertebrate), berbentuk polip yang berukuran mikroskopis, namun mampu menyerap kapur dari air laut dan mengendapkannya sehingga membentuk timbunan kapur yang  padat (Bengen, 2002).
Kekayaan nilai dalam ekosistem terumbu karang menyumbang manfaat yang sangat besar dan beragam dalam pembangunan kelautan. Sejalan dengan pertumbuhan penduduk dan pembangunan suatu daerah maka eksploitasi sumberdaya alam termasuk sumberdaya terumbu karang dan ekosistemnya yang dilakukan secara besar-besaran tanpa mempertimbangkan kelestariannya akan berdampak pada menurunnya kualitas lingkungan hidup masyarakat di sekitar terumbu karang berada, termasuk sumberdaya terumbu karang itu sendiri dan eksosistemnya (Bengen, 2002)
Eksploitasi sumberdaya alam di wilayah pesisir dan pulau-pulau  kecil secara besar-besaran tanpa mempertimbangkan kelestariannya, berdampak pada menurunnya kualitas lingkungan hidup di wilayah tersebut, termasuk terumbu karang. kondisi terumbu karang Indonesia 41,78% dalam keadaan rusak, 28,30 % dalam keadaan sedang, 23,72 % dalam keadaan baik, dan 226,20 % dalam keadaan sangat baik. Hal ini menunjukkan telah terjadi tekanan yang cukup besar terhadap keberadaan terumbu karang di indonesia pada umumnya oleh beberbagai ancaman dan faktor-faktor penyebab kerusakan ( LIPI, 2000).













III.             METODE PRAKTEK
A.    Waktu dan Tempat
            Praktek lapang Konsevasi Kawasan Laut ini dilaksanakan pada hari Minggu, 10 Januari 2016 pukul 10.00 WITA–selesai dan bertempat di pulau Bungkutoko, Kecamatan Abeli Kota Kendari.
B.     Alat yang digunakan
            Berikut adalah Alat dan Bahan yang digunakan pada Praktek Lapang Konservasi Kawasan Laut:
Tabel 1. Alat dan Bahan Beserta Kegunaannya
No.
Alat dan Bahan
Kegunaan
a.
Alat


-          Transek 1×1 m
Sebagai pembatas pengambilan sampel

-          Meteran rol
Untuk mengukur luas dan jarak pengambilan sampel

-          Alat snorkling
Sebagai alat bantu dalam pengamatan karang

-          Kamera
Sebagai media komunikasi

-          Alat Tulis
Untuk mencatat
b.
Bahan


-          Mangrove
Sebagai media praktek

-          Lamun
Sebagai media praktek

-          Karang
Sebagai media praktek

C.    Prosedur Kerja
            Berikut adalah prosedur kerja dalam melakukan Praktek Lapang Konsevasi Kawasan Laut di Bungkutoko:
-            Menyimpan alat dan bahan yang akan digunakan pada kegiatan
-            Mengukur lokasi 10×10 m pada ekosistem mangrove, menghitung jumlah pohon, anakan, semai dan sekaligus mengamati organisme yang ada pada daerah ekosistem tersebut, pengambilan sample dilakukan 3× pengulangan.
-            Meletakan transek kuadrat pada daerah ekosistem lamun, kemudian mengamati organisme yang ada pada setiap plotnya dan pengambilan dilakukan 3× pengulangan.
-            Mengamati keadaan ekosistem karang di daerah tersebut
-            Melakukan wawancara pada Warga setempat.
















IV.             HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Lokasi
Adapun gambaran umum tentang lokasi tempat praktek lapang, dapat dilihat dari gambar di bawah ini :








                                                Gambar 1.Peta Bungkutuoko
                                                                                                                                   
Gambar 1.Peta Bungkutuoko
            Secara umum perairan pantai Bungkutoko Timur, berada dalam wilayah di Kecamatan Abeli Kota Kendari Sulawesi Tenggara yang terletak pada posisi astronomis 3º, 58’, 30º LS - 3º, 59, 30º LS dan 122º, 35º, 15º BT. Dengan luas wilayah luas wilayah ± 500 Ha. Adapun kondisi geografis perairan pantai pulau Bungkutoko Timur Sebagai Berikut:
Sebelah Selatan berbatasan dengan Nambo
Sebelah Barat berbatasan dengan Teluk Kendari
Sebelah Utara berbatasan dengan Kelurahan Kasilampe
Sebelah Timur berbatasan dengan Laut Banda
Topografi perairan pantai Bungkutoko Timur merupakan perairan pantai landai dan Zona Intertidal pada surut terendah berjarak ± 350 m dari garis pantai dan mempunyai dasar perairan berpasir, lumpur berpasir dan pasir berbatu-batu.
B. Hasil
Adapun hasil pengamatan praktek lapang konservasi kawasan laut dapat dilihat pada tabel di bawah.
Tabel 2. Hasil pengamatan Lamun
Stasiun
Plot
Jenis Lamun
Tegakan
Organisme

1
Thalasia
3
-
1
2
Cymodocea
2
-
5 meter
3
Thalassia
8
2 Kepiting

4
Thalassia
18
-

5
Cymodocea
11
-

1
Cymodocea
6
-
2
2
Cymodocea
-
1 Kepiting
10 meter
3
Cymodocea
2
-

4
Thalassia
10
-

5
Cymodocea
3
-

1
Cymodocea
15
-
3
2
Cymodocea
10
-
15 meter
3
Thalassia
6
-

4
Cymodocea
7
Kepiting

5
Cymodocea
10
-

Tabel 3. Hasil pengamatan Mangrove
Stasiun
Mangrove
Jumlah
Organisme
1
Soneratia
10 pohon
2 semai
Burungo
Crustacea
Rhizophora
1 semai
2
Soneratia


10 pohon
Burungo
3
Soneratia
Rhizophora
3 pohon
1 anakan
Kalandue


4
Soneratia
Rhizophora

10 pohon
2 semai
Burungo
5
Soneratia
10 pohon
5 anakan
3 semai
Crustacea
Kalandue
Rhizophora
2 semai

C. Peta Partisipatif
Gambar 2. Peta Partisipatif
C.  Pembahasan
Konservasi adalah upaya pelestarian lingkungan, tetapi tetap memperhatikan, manfaat yang dapat di peroleh pada saat itu dengan tetap mempertahankan keberadaan setiap komponen lingkungan untuk pemanfaatan, masa depan.
Mewujudkan visi Kota Kendari tahun 2020 sebagai kota dalam taman yang maju, demokratis dan sejahtera serta untuk menunjang pembangunan Kota Kendari yang  cukup pesat, Pemeritah Kota (Pemkot) Kendari terus berupaya menyediakan berbagai fasilitas umum bagi masyarakat ibukota provinsi Sulawesi Tenggara.
            Salah satu fasilitas wisata (daerah Konservasi) yang diberi nama traking mangrove, Traking mangrove atau  taman air merupakan salah satu konsep yang saat ini tengah dikembangkan oleh Pemerintah Kota Kendari,  pekerjaan tracking mangrove Bungkutoko tersebut dimulai sejak 2015 dengan dana sekitar Rp1,5 miliar yang bersumber dari Kementerian Kelautan dan Perikanan kemudian dikelola oleh masyarakat Pulau Bungkutoko.
            Selain sebagai lokasi wisata, kawasan tersebut juga bisa berfungsi sebagai ruang terbuka hijau dan sarana pendidikan. Lokasi ekowisata alam Tracking Mangrove berdekatan dengan Pelabuhan Kontainer Bungkutoko dijelaskan, tracking mangrove Bungkutoko itu memiliki panjang sekitar 500 meter dengan track yang memutar lengkap dengan pintu masuk, serta beberapa fasilitas penunjang diantaranya sejumlah gazebo, toilet, pos jaga dan menara pantau.
            Ekologi merupakan ilmu yang mempelajari organisme dalam tempat hidupnya atau dengan kata lain mempelajari hubungan timbal-balik antara organisme dengan lingkungannya. Ekologi hanya bersifat eksploratif dengan tidak melakukan percobaan, jadi hanya mempelajari apa yang ada dan apa yang terjadi di alam.
            Hutan mangrove merupakan ekosistem yang kompleks terdiri atas flora dan fauna daerah pantai, hidup sekaligus di habitat daratan dan air laut, antara batas air pasang dan surut berperan dalam melindungi garis pantai dari erosi, gelombang laut dan angin topan, Biota yang ditemui di ekosistem mangrove pada Praktek Lapang Konservasi tersebut adalah rata-rata crustacea, sedangkan jenis mangrove yang didapatkan adalah jenis Avicenia dan Rhizopora. Dari hasil pengambilan sample pada setiap stasiun pengamatan yang diperoleh pada tabel 2 diatas menunjukkan bahwa kondisi Ekosistem Mangrove tersebut memiliki kerapatan atau kepadatan yang relatif rendah.
            Lamun atau biasa disebut dengan seagrass adalah tumbuhan berbunga yang dapat tumbuh dengan baik dalam lingkungan laut dangkal, semua lamun adalah tumbuhan berbiji satu yang mempunyai akar, rimpang atau rizom, daun, bunga dan buah seperti halnya dengan tumbuhan berpembuluh yang tumbuh di darat. Fungsi utama ekosistem lamun dapat memberikan nutrisi terhadap biota yang berada diperairan sekitarnya. Organisme yang telah didapatkan pada pengamatan Ekosistem Lamun tersebut adalah Bintang laut, Sponge dan berbagai jenis siput yang hidup didaerah tersebut, sedangkan jenis lamun yang didapatkan adalah Thallasia Hemprichii dan Cymodocea Rotundata.
Zonasi-zonasi yang terdapat di pulau Bungutoko ini adalah­ zona pemanfaatan dan zonasi perikanan berkelanjutan. Zona pemanfaatan di daerah ini adalah daerah wisata tracking mangrove dimana tracking mangrove ini merupakan daerah wisata yang sangat jarang dan hanya ada 3 di Indonesia dan Bungkutoko adalah salah  satu daerah yang memiliki wilayah  tracking mangrove sehingga daerah ini memiliki daya tarik tersendiri bagi para wisatawan baik wisatawan lokal maupun wisatawan dari luar daerah.
Zonasi selanjutnya adalah zonasi perikanan berkelanjutan, zona ini dimanfaatkan salah satu  masyarakat bungkutoko untuk membuka lahan budidaya dimana hal tersebut menjadi salah satu sumber mata pencaharian masyarakat tersebut.








V.  SIMPULAN DAN SARAN
A.  Simpulan
Berdasarkan hasil pengamatan dan pembahasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa pulau Bungkutoko memiliki ekosistem lamun dan terumbu karang yang relatif rendah sedangkan ekosistem mangrovenya cukup baik dibuktikan dengan adanya daerah wisata tracking mangrove icon dari pulau Bungkutoko.
B.  Saran
Adapun saran saya pada praktikum selanjutnya sebaiknya tempat praktikum yang dipilih adalah tempat yang memiliki potensi ekosistem yang lebih baik.














DAFTAR PUSTAKA
Bengen, Dietriech G, 2000. Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir.
            Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan – IPB, Bogor.
Bengen, Dietriech G. 2001. Pedoman Teknis Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan –       IPB, Bogor.
Bengen, Dietriech G, 2004. Pedoman Teknis Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove, Pusat kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan          IPB,Bogor.
Dahuri, R,Rais J, dan Ginting SP, 2001, Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan       Lautann Secara Terpadu, PT Paradya Paramitha. Jakarta.
Departemen Kehutan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007, Tentang      Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.nan, Direktorat    Jenderal Rehabilitas Lahan dan Perhutanan
Sosial, Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Pemali-Jratun Propinsi Jawa,          Laporan Akhir Inventarisasi dan Identifikasi Mangrove Wilayah Balai             Pengelolaan DAS Pemali Jratun, Provinsi Jawa Tengah Tahun Anggaran        2006.
Saparinto, Cahyo. 2007. Pendayagunaan Ekosistem Mangrove. Dahara Prize,
              Semarang.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar